Perusahaan pengapalan raksasa, Maersk, telah memperingatkan bahwa gangguan pada rute pelayaran Laut Merah dapat berlangsung hingga setahun. Saat ini, rute ini dianggap tidak aman karena adanya serangan yang dilakukan oleh Houthi.
Pemimpin redaksi Lloyds List, yang merupakan publikasi terkait pengapalan, Richard Meade, mengatakan bahwa kapal-kapal kontainer besar telah mengalami eksodus dari Laut Merah dan Terusan Suez. Mereka tidak lagi menggunakan rute Laut Merah tetapi beralih ke Tanjung Harapan, Afrika Selatan.
Kapal-kapal yang mengangkut berbagai barang dari pabrik di Asia untuk konsumen di Eropa, kini mengambil rute lebih jauh untuk menghindari Laut Merah. Hal ini tentu saja berdampak pada perdagangan di kawasan tersebut.
Serangan yang dilakukan Houthi terhadap kapal komersial yang melewati Laut Merah telah meningkat sejak November 2023, sebagai bentuk dukungan terhadap perjuangan Palestina melawan Israel di Gaza. Meskipun patroli bersama yang dipimpin oleh AS-Inggris dan serangan terhadap target Houthi di Yaman sudah dilakukan, serangan di Laut Merah belum juga mengendur.
Akibatnya, banyak pengiriman barang mengalami pengalihan rute atau tertunda. Perusahaan seperti Tesla dan Ikea pun mengalami dampak dari hal ini.
Perusahaan analis pelayaran, Xeneta, memperkirakan bahwa sebanyak 90% kapal yang biasanya melewati Laut Merah saat ini mengambil rute alternatif ke Tanjung Harapan.
Selain itu, biaya tambahan juga menjadi masalah, seperti biaya bahan bakar, asuransi, biaya sewa, dan upah kru. Sebagai contoh, perusahaan seperti Maersk dan Hapag-Lloyd perlu tambahan biaya sekitar 1 juta dolar AS atau sekitar Rp 15 miliar untuk setiap kapal yang harus memilih rute alternatif ke Afrika.
Sumber: Republika