Perjanjian Giyanti: Awal Mula Pembentukan Kesunanan Surakarta dan Kesultanan Ngayogyakarta Hadiningrat
Peristiwa penting yang dikenal sebagai Perjanjian Giyanti tahun 1755 menandai berakhirnya Kerajaan Mataram Islam dan menjadi titik awal pembentukan Kesunanan Surakarta dan Kesultanan Ngayogyakarta Hadiningrat. Sejarah panjang pembentukan kedua kerajaan besar di Jawa ini tidak lepas dari konflik internal dan campur tangan kolonial Belanda.
Kerajaan Mataram Islam, yang mengalami masa kejayaan dan kemunduran dari abad ke-16 hingga pertengahan abad ke-18, terganggu oleh intervensi VOC, terutama dalam politik adu domba di kalangan bangsawan dan keluarga kerajaan. Konflik internal dimulai dari perselisihan di antara keturunan Amangkurat IV, yang kemudian memunculkan Pangeran Prabasuyasa, Pangeran Mangkubumi, dan Raden Mas Said, yang menuntut hak atas tahta Mataram.
Campur tangan VOC dalam suksesi Mataram semakin merumitkan situasi. Setelah wafatnya Pakubuwana II, VOC menunjuk Raden Mas Soerjadi sebagai pengganti dengan gelar Pakubuwana III, memicu perang saudara antara kubu Pakubuwana III yang didukung VOC melawan Pangeran Mangkubumi dan Raden Mas Said. Perjanjian Giyanti kemudian ditandatangani pada 13 Februari 1755, secara resmi membagi Kerajaan Mataram menjadi dua entitas, yaitu Kesunanan Surakarta dan Kesultanan Ngayogyakarta Hadiningrat.
Perjanjian Giyanti berisi 10 pasal yang menetapkan kekuasaan Sultan Hamengkubuwana I di Yogyakarta dan Pakubuwana III di Surakarta, kerja sama dengan VOC, hak veto VOC dalam pengangkatan pejabat kerajaan, serta perjanjian ekonomi-politik antara kedua kerajaan dan VOC. Namun, konflik tidak berakhir dengan perjanjian tersebut, karena Raden Mas Said melanjutkan perjuangannya dan menandatangani Perjanjian Salatiga, yang mengakui dirinya sebagai penguasa Kadipaten Mangkunegaran.
Setelah Perjanjian Giyanti, Kesultanan Yogyakarta didirikan dengan pertemuan antara Sultan Hamengkubuwana I dan Pakubuwana III di Jatisari. Pembangunan Keraton Yogyakarta dimulai, menandai dimulainya era baru bagi Kesultanan Yogyakarta. Monumen Perjanjian Giyanti didirikan sebagai pengingat atas peristiwa penting ini, melambangkan sejarah perpecahan Mataram dan kelahiran dua kerajaan besar di Jawa: Surakarta dan Yogyakarta.