Di tengah upaya Pemerintah Kota Surabaya untuk menghidupkan kembali gedung teater, seperti Balai Budaya dan eks THR-TRS, seniman dan budayawan di Surabaya mulai mengemukakan kritik. Mereka merasa bahwa revitalisasi gedung-gedung tersebut belum sepenuhnya memenuhi kebutuhan dasar pertunjukan seni, terutama dari segi teknis dan ekosistem yang mendukung kreativitas.
Wali Kota Surabaya, Eri Cahyadi, berencana untuk mengisi Balai Budaya dengan pertunjukan seni rutin, sementara kompleks THR-TRS akan menjadi pusat kreativitas pemuda. Namun, banyak pelaku seni menanggapi rencana tersebut dengan hati-hati. Mereka menyoroti pentingnya fasilitas teater yang memadai, seperti tinggi panggung, cahaya yang tepat, dan akustik yang baik.
Selepas dari itu, pelaku seni juga mempermasalahkan turunnya aktivitas teater kampung dan minimnya ruang bagi teater kampus untuk tampil secara rutin. Mereka percaya bahwa ekosistem ini penting dalam membangun budaya kritik dan kesadaran sosial masyarakat. Demikian pula, seniman tari menilai bahwa meskipun beberapa gedung, seperti Ciputra Hall, memiliki teknologi pencahayaan yang baik, namun belum mampu menyamai kenyamanan teater besar di kota-kota lain.
Kritik dan pandangan ini menjadi pembahasan utama di tengah semangat revitalisasi gedung teater di Surabaya. Semua pihak sepakat bahwa pentingnya memperhatikan kebutuhan dasar pertunjukan seni agar ekspresi dan kualitas seni bisa terjaga.