Surabaya, kota yang kaya akan budaya dan tradisi, selalu dipenuhi dengan semangat perayaan setiap kali Hari Raya Idul Fitri tiba. Takbir keliling, yang menjadi tradisi turun-temurun, merupakan salah satu cara warga merayakan kemenangan setelah bulan puasa. Namun, belakangan ini, penggunaan sound horeg yang lantang pada takbir keliling di beberapa daerah di Surabaya, seperti Lakarsantri, Wiyung, dan Rungkut, mulai menimbulkan keresahan di kalangan warga. Meskipun tujuan awalnya adalah untuk merayakan kemenangan, suara bising yang dihasilkan justru mengganggu kenyamanan lingkungan sekitar.
Salah satu kawasan yang paling merasakan dampak dari fenomena ini adalah Lakarsantri. Seorang warga, Hadi (52), mengungkapkan bahwa penggunaan sound horeg yang semakin marak membuat suasana malam Hari Raya terasa tidak nyaman. Menurut Hadi, meskipun tradisi takbir keliling adalah hal yang sangat dihargai, kebisingan yang ditimbulkan justru menciptakan ketidaknyamanan bagi banyak warga.
Keluhan serupa datang dari Wiyung. Siti Nur (43), seorang ibu rumah tangga di daerah ini, merasa terganggu dengan suara keras dari sound horeg yang digunakan dalam takbir keliling. Ibu Siti menyadari bahwa tujuan dari takbir keliling adalah untuk merayakan kemenangan, namun ia merasa bahwa cara ini bisa dilakukan dengan lebih bijaksana.
Di Rungkut, Ahmad (35), salah satu warga yang turut berpartisipasi dalam takbir keliling, mengungkapkan pandangannya. Ahmad mengakui bahwa penggunaan sound horeg memang dapat menciptakan suasana yang lebih semarak, namun ia juga sadar bahwa ada warga lain yang merasa terganggu. Dia berpendapat bahwa mungkin akan lebih baik jika ada aturan yang mengatur waktu dan volume suara yang digunakan. Jadi, sementara tradisi takbir keliling tetap berlangsung, penggunaan sound horeg perlu lebih dipertimbangkan agar tidak mengganggu kenyamanan warga sekitar.