Kota-kota besar di Indonesia menghadapi tantangan serupa, yaitu keterbatasan lahan pemakaman. Di Surabaya, solusi yang diterapkan adalah sistem tumpang, di mana jenazah ditumpuk dalam satu liang lahat. Meskipun praktik ini umum, tidak semua keluarga merasa nyaman dengan metode tersebut. Bagi sebagian warga, menumpuk makam adalah cara untuk menghormati anggota keluarga yang meninggal. Mereka ingin tetap bersama meskipun sudah berpisah dunia. Namun, bagi sebagian lainnya, tumpukan makam terjadi karena keterbatasan pilihan.
Menurut Kepala Dinas Lingkungan Hidup (DLH) Surabaya, Dedik Irianto, TPU Babat Jerawat dan Ngagel Rejo sudah penuh, sehingga alternatifnya adalah tumpang. Sejauh ada izin keluarga, praktik ini dapat dilakukan. Proses ini memerlukan keluarga untuk mengumpulkan tulang-belulang jenazah lama sebelum menambahkan jenazah baru dalam liang yang sama. Bahkan, di beberapa TPU, tumpang jenazah bisa mencapai tiga hingga empat dalam satu makam.
Meskipun dari segi agama, sistem tumpang ini diperbolehkan, namun beberapa keluarga merasa tidak nyaman karena tidak mampu memberikan ruang pemakaman yang layak. Selain itu, kepadatan makam sering kali menghambat peziarah yang ingin berdoa dengan khusyuk. Pemerintah Kota Surabaya saat ini mengelola 13 TPU, di antaranya TPU Keputih, Kembang Kuning, dan Babat Jerawat. Warga juga memiliki alternatif lain dengan pemakaman yang masih memiliki ruang, seperti TPU Keputih yang terbuka bagi non-Muslim.
Pertanyaannya, apakah sistem tumpang akan bertahan dalam jangka panjang? Dengan pertumbuhan populasi yang terus meningkat, sistem tumpang hanya mungkin menjadi solusi sementara. Tanpa kebijakan inovatif, seperti pemakaman vertikal atau lahan baru, Surabaya akan terus mengalami krisis pemakaman di masa mendatang.