Sunat perempuan masih menjadi topik yang kontroversial di berbagai negara, termasuk Indonesia. Beberapa komunitas di Indonesia melihat sunat perempuan sebagai bagian dari tradisi adat dan budaya yang diwariskan secara turun-temurun. Menurut informasi dari Komnas Perempuan, praktik sunat perempuan sering terjadi di wilayah pesisir dan dipercaya sebagai bagian dari ajaran agama.
Sementara itu, World Health Organization (WHO) mendefinisikan Female Genital Mutilation (FGM) atau sunat perempuan sebagai prosedur yang melibatkan pengangkatan sebagian atau seluruh alat kelamin perempuan tanpa alasan medis. FGM umumnya dilakukan pada anak perempuan usia bayi hingga 15 tahun dan dianggap sebagai pelanggaran terhadap hak asasi perempuan dan anak perempuan.
Di Indonesia, praktik sunat perempuan bervariasi, namun beberapa bentuknya dapat masuk dalam kategori FGM menurut WHO. Meskipun praktik sunat perempuan yang dilakukan cenderung ringan, seperti penggoresan atau pemotongan kecil pada klitoris, WHO tetap menganggapnya sebagai bentuk pelanggaran hak asasi.
FGM tidak memberikan manfaat kesehatan, melainkan hanya membawa kerugian. Prosedur ini dapat mengakibatkan berbagai komplikasi kesehatan, baik secara langsung maupun jangka panjang. Komplikasi tersebut antara lain nyeri hebat, perdarahan berlebihan, infeksi, masalah seksual, hingga risiko komplikasi saat melahirkan.
Penting untuk terus meningkatkan kesadaran tentang kerugian dan dampak negatif dari praktik sunat perempuan. Upaya pencegahan dan penolakan terhadap praktik ini perlu terus ditingkatkan untuk melindungi hak asasi perempuan dan anak perempuan secara keseluruhan.