Pemerintah Indonesia tengah menjalankan Proyek Strategis Nasional (PSN) di Merauke, provinsi Papua Selatan, di bidang pertanian untuk mencapai swasembada. Namun, upaya ini mendapat kritik karena dianggap merusak lingkungan setempat.
Proyek Strategis Nasional (PSN) di Merauke dimulai pada 12 Juli 2024, dengan diterbitkannya Surat Keputusan Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) Nomor 835 Tahun 2024 oleh Menteri Siti Nurbaya. Proyek ini mendapat persetujuan untuk menggunakan kawasan hutan guna pembangunan sarana dan prasarana ketahanan pangan. Namun, beberapa pihak menganggap bahwa proyek ini melanggar hak masyarakat adat dan merusak lingkungan hidup.
Yayasan Pusaka Bentala Rakyat (PUSAKA) mencatat bahwa lokasi proyek ini berada di kawasan hutan adat dan memiliki nilai konservasi tinggi. Pemilik tanah di Distrik Ilwayab, Marga Gebze Moyuend dan Gebze Dinaulik, mengeluhkan bahwa tanah mereka telah digusur tanpa persetujuan.
Proyek PSN Merauke yang mencakup cetak sawah satu juta hektar dan pembangunan sarana ketahanan pangan diduga belum memiliki dokumen lingkungan dan persetujuan lingkungan. Selain itu, masyarakat terdampak dan organisasi lingkungan hidup tidak dilibatkan dalam pembahasan proyek ini.
Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Papua juga mengkritik proyek ini, dengan menuntut agar penghancuran Taman Nasional, Suaka Margasatwa dan Cagar Alam yang dilindungi di Merauke dihentikan. LBH Papua menyebut bahwa kawasan-kawasan ini di Merauke telah dilindungi oleh keputusan menteri sebelum adanya Proyek MIFFE 2009 maupun PSN Pengembangan Tebu, Bioetanol dan Padi tahun 2023.
Meskipun mendapat kritik, pemerintah terus melanjutkan Proyek Strategis Nasional di Merauke dalam upaya mencapai swasembada pangan. Wakil Menteri Pertanian, Sudaryono, memastikan bahwa berbagai PSN yang dijalankan oleh Kementerian Pertanian berjalan dengan baik, termasuk program food estate dan cetak sawah di Merauke.
Menteri Pertanian, Andi Amran Sulaiman, optimis bahwa swasembada pangan dapat tercapai dari Merauke dalam dua tahun ke depan. Namun, desakan untuk menghentikan proyek ini terus muncul dari aktivis dan lembaga hukum di Papua.