LEADERSHIP OF INDONESIAN NATIONAL LEADERS [PRESIDENT SUKARNO]

by -245 Views

Dalam sejarah Indonesia, beberapa ksatria telah menunjukkan keberanian dan ketahanan mereka. Ksatria yang berani melawan penjajah asing daripada tunduk atau tunduk kepada kekuatan asing yang sombong dan congkak. Salah satu ksatria yang menjadi panutan saya adalah Presiden pertama Republik Indonesia, Bung Karno. Beliau adalah seorang intelektual besar, orator dan organisator. Ada banyak hal yang bisa kita pelajari dari Presiden pertama Indonesia, Presiden Sukarno. Pelajaran yang saya pelajari dari beliau bisa menjadi sebuah buku tersendiri. Bung Karno lahir di Surabaya pada tahun 1901. Pada tahun 1927, pada usia yang masih muda 26 tahun, beliau mendirikan Partai Nasional Indonesia (PNI). Karena tulisan-tulisannya yang berpengaruh dalam membangkitkan semangat nasionalisme di kalangan rakyat Indonesia, pada tahun 1929, Bung Karno ditangkap oleh Belanda dan dipenjara di penjara Banceuy, Bandung. Setahun kemudian, beliau dipindahkan ke penjara Sukamiskin. Dari dalam penjara, Sukarno membuat pidato fenomenalnya, Indonesia Menggugat. Sebuah pidato bersejarah yang saya anggap masih sangat relevan hingga hari ini. Pada tahun 1938 hingga 1942, Bung Karno diasingkan ke Ende. Belanda, karena keadaan saat itu, hanya membebaskannya selama pendudukan Jepang di Indonesia pada tahun 1942. Selama masa ini, beliau aktif bekerja untuk mewujudkan kemerdekaan Indonesia, merumuskan Pancasila dan Konstitusi 1945, serta membentuk dasar pemerintahan baru Indonesia. Dalam buku ini, saya ingin menyoroti beberapa peristiwa sejarah yang sangat berpengaruh terhadap arah negara dan bangsa kita. Pertama adalah keberanian Presiden Sukarno untuk menyatakan kemerdekaan Indonesia pada tanggal 17 Agustus 1945. Seperti yang dapat dibayangkan, pada saat itu, negara kita bisa dikatakan tidak memiliki apa-apa. Namun Presiden Sukarno berani mengumpulkan massa di Jalan Pegangsaan Timur, Jakarta dan membacakan pidato berikut: Saudara-saudara, rakyatku! Saya telah mengumpulkan Anda di sini untuk menjadi saksi dari salah satu peristiwa paling penting dalam sejarah kita. Selama puluhan tahun, kita sebagai bangsa Indonesia telah berjuang untuk kemerdekaan tanah air kita. Bahkan selama ratusan tahun! Banyak gerakan kita untuk merebut kemerdekaan telah mengalami kemajuan dan kemunduran, tetapi semangat kita tetap pada tujuan kita yang sejati. Juga, selama penjajahan Jepang, upaya kita untuk mencapai kemerdekaan terus tak kenal lelah. Mungkin sepertinya kita bergantung pada Jepang, tetapi pada intinya, kita bergantung pada tekad kita, pada kekuatan kita. Kini saatnya telah tiba untuk benar-benar mengendalikan takdir bangsa kita, tanah air kita. Hanya bangsa yang berani mengontrol nasibnya sendiri yang akan mampu berdiri teguh dan bangga. Maka [hari ini], kita telah bermusyawarah dengan pemimpin-pemimpin Indonesia dari seluruh Indonesia. Kita telah mencapai kesepakatan bahwa sekaranglah saatnya untuk menyatakan kemerdekaan kita. Saudara-saudara! Maka dengan tegas kami nyatakan: Bisa dibayangkan keadaan hati Bung Karno pada saat itu. Beliau dan Bung Hatta menyatakan kemerdekaan Indonesia. Pernyataan ini menimbulkan pemberontakan terhadap Pasukan Sekutu, yang merupakan pemenang Perang Dunia II dan memiliki senjata atom. Pada saat itu kita tidak memiliki apa-apa. Senjata yang kita miliki hanyalah sisa-sisa dari persenjataan Belanda dan Jepang yang kami berhasil rebut. Peristiwa kedua yang sangat penting bagi pembentukan Indonesia, dan bagi saya, adalah pidato yang disampaikan Presiden Sukarno pada sesi Badan Persiapan Kemerdekaan Indonesia (BPUPKI) pada tanggal 1 Juni 1945. Pada saat itu, Presiden Sukarno berada di bawah tekanan besar untuk membuat dasar ideologis bagi negara Indonesia yang baru merdeka. Beberapa mendorong untuk dasar ideologis berdasarkan agama atau kelompok etnis tertentu. Namun beliau dengan tenang memutuskan, di depan rapat, bahwa Indonesia akan didirikan berdasarkan Pancasila. Presiden Sukarno mengatakan: Kita ingin menciptakan sebuah negara untuk semua orang. Bukan untuk satu orang, bukan untuk satu kelompok, bukan untuk kaum bangsawan, bukan untuk yang kaya – tapi untuk semua orang! Republik Indonesia bukanlah milik satu kelompok, juga bukan milik agama atau kelompok etnis atau budaya tertentu, tetapi milik kita semua dari Sabang sampai Merauke. Dalam buku ini, saya juga ingin mendiskusikan Bung Karno dari sudut pandang Profesor Soemitro, ayah saya. Pak Soemitro dikenal luas dalam sejarah Indonesia sebagai salah satu lawan politik Bung Karno yang lama. Pak Soemitro bahkan ikut dalam ‘pemberontakan’ PRRI/Permesta melawan pemerintahan Presiden Sukarno. Karena saya adalah anak dari Profesor Soemitro, ada yang bisa mengatakan bahwa saya berasal dari keluarga anti-Sukarno. Namun, yang menarik, Pak Soemitro selalu mengingatkan kami, anak-anaknya, bahwa dia menentang Bung Karno karena perbedaan pandangan politik, terutama tentang komunisme dan Partai Komunis Indonesia (PKI). Dia pernah mengatakan, ‘Tapi, anak-anakku, kalian harus ingat bahwa saya tidak pernah mengatakan bahwa Bung Karno bukan pemimpin yang hebat. Bung Karno adalah salah satu pemimpin luar biasa yang pernah dimiliki Indonesia. Bung Karno berhasil menyatukan ratusan suku, kelompok agama yang berbeda, faksi politik, dan adat istiadat untuk satu tujuan: Indonesia Merdeka.’ Pak Soemitro pernah mengatakan kepada kami bahwa jika bukan karena Bung Karno, kita mungkin tidak akan pernah mencapai kemerdekaan Indonesia yang bersatu tetapi malah akan berakhir dengan puluhan republik yang berbeda. Dan itu memang yang diinginkan Belanda: melihat Indonesia terpecah menjadi puluhan negara yang berbeda. Begitu juga negara-negara lain di sekitar kita mengharapkan hal yang sama. Itu yang dikatakan almarhum ayah saya kepada saya. Kemudian, Pak Mitro menceritakan bagaimana dia, pada awal 1950-an, mencoba meyakinkan Bung Karno untuk tidak bekerja sama dengan PKI. Hingga suatu hari, Bung Karno kesal dengan Pak Mitro dan memarahinya. Bung Karno mengatakan kepada Pak Mitro, ‘Hey Mitro, ketika kau masih mengenakan celana pendek, aku sudah masuk dan keluar dari penjara. Ingat itu. Kamu hanya urus ekonomi dan tinggalkan politik padaku. Aku lebih memahami politik Indonesia daripada kamu.’ Pak Mitro mengatakan kepada saya bahwa Sukarno benar. Ketika Bung Karno pertama kali dipenjara, Pak Mitro masih berusia 15 tahun. Tetapi, menurut Pak Mitro, ‘Saya tidak memiliki niat jahat. Saya hanya ingin Bung Karno tidak jatuh ke dalam perangkap. Saya yakin suatu hari PKI akan mengkhianati Bung Karno.’ Dalam hubungannya dengan Bung Karno, Pak Mitro juga menceritakan kepada saya bahwa sebenarnya, pilihan pertama Bung Karno sebagai WAPERDAM 1 (Wakil Perdana Menteri Pertama) suatu waktu adalah dirinya, bukan Dokter Subandrio. Tetapi ketika dirinya ditawari posisi tersebut, dia sekali lagi meminta Bung Karno untuk tidak bekerja sama dengan PKI. Bung Karno marah dengan keteguhan Pak Mitro, dan beliau memilih Dokter Subandrio sebagai gantinya. Ketika Pak Mitro menceritakan kisah itu kepada saya, saya berkata padanya, ‘Pak, saya pikir Anda membuat kesalahan. Anda seharusnya tidak meninggalkan Bung Karno. Jika Anda berada di sampingnya, Anda mungkin bisa mencegah manuver PKI.’ Pak Mitro memikirkan apa yang saya katakan untuk waktu yang cukup lama sebelum mengakui, ‘Sepertinya benar, Bowo. Seharusnya saya tidak pernah meninggalkan Bung Karno.’ Beberapa tahun kemudian, saya mendengar dari adik lelaki saya Hashim Djojohadikusumo bahwa sekitar sebulan sebelum Pak Mitro meninggal, ketika beliau sakit di atas tempat tidurnya, Pak Hashim bertanya kepada Pak Mitro, ‘Pak, apakah Anda memiliki sesuatu yang disesali dalam hidup Anda? Apa yang paling Anda sesali dalam hidup Anda?’ Jawaban Pak Mitro adalah, ‘Ada satu hal yang paling saya sesali: saya meninggalkan Bung Karno. Saya seharusnya tetap bersamanya.’ Itulah pelajaran yang saya catat. Dan itu adalah norma di kalangan Generasi ’45—mereka memiliki pandangan yang berbeda, tetapi mereka saling menghormati. Juga, saya belajar bahwa kita harus selalu fleksibel dan tidak boleh terlalu kaku dalam pendirian kita karena, suatu saat, pendirian kita mungkin menjadi kurang relevan ketika dilihat dari konteks dan era yang berbeda. Ada satu hal lagi yang mengesankan saya. Saya ingat ketika Pak Mitro membawa saya ke Istana Merdeka ketika saya berusia lima tahun. Saya melihat Bung Karno berdiri di atas tangga. Beliau tinggi, berotot, karismatik, dengan senyum lebar di wajahnya. Suaranya dalam, menggelegar. Saya ingat beliau mengangkat saya seperti akan melemparkan ke udara. Kemudian beliau menurunkan saya kembali ke tanah. Saya tidak ingat secara persis…

Source link