LEADERSHIP OF INDONESIAN NATIONAL LEADERS [SULTAN HASANUDDIN]

by -305 Views

Oleh: Prabowo Subianto [diambil dari Buku: Catatan Kepemimpinan Militer dari Bab Pengalaman I]

Dalam ratusan tahun sejarahnya, Indonesia telah memiliki pemimpin-pemimpin tangguh, pejuang-pejuang keadilan, dan pembela rakyat yang dengan berani melawan kolonisasi dan dominasi oleh bangsa lain. Dari Indonesia Timur, sejarah mencatat perjuangan Sultan Hasanuddin. Selama masa pemerintahannya, Sultan Hasanuddin berhasil menghalangi rencana Belanda untuk menguasai Kesultanan Gowa. Sultan Hasanuddin menyatukan kerajaan-kerajaan kecil melawan penjajah kolonial.

Kadang-kadang, seiring berjalannya waktu, kita cenderung melupakan cerita para pendahulu kita. Kadang-kadang kita lupa sejarah kita dan meragukan identitas kita sendiri.

Dari Indonesia Timur, sejarah mencatat perjuangan Sultan Hasanuddin. Sultan Hasanuddin lahir di Makassar pada tahun 1631. Ia adalah putra kedua dari Sultan Malikussaid. Ia juga dijuluki De Haantjes van Het Osten oleh Belanda karena keberaniannya, artinya Ayam Jantan Timur.

Sejak kecil, jelas terlihat bahwa dia memiliki jiwa seorang pemimpin. Selain cerdas, dia juga pandai dalam berdagang. Oleh karena itu, dia memiliki jaringan perdagangan yang luas. Dia juga sering diundang oleh ayahnya untuk menghadiri pertemuan-pertemuan penting dengan harapan bisa memperdalam pengetahuan dan seni diplomasi serta perang. Ayahnya beberapa kali mempercayakan kepadanya untuk menjadi duta besar yang mengirim pesan ke berbagai kerajaan.

Ketika baru berusia 21 tahun, Hasanuddin diangkat sebagai menteri pertahanan Gowa. Setelah menjadi Raja, Sultan Hasanuddin menciptakan beberapa masalah bagi Belanda. Ketegaran Sultan Hasanuddin dapat dilihat dalam penolakannya yang teguh terhadap monopoli perdagangan VOC.

Selama pemerintahannya, Sultan Hasanuddin berhasil menggagalkan rencana Belanda untuk menguasai Kesultanan Gowa. Sultan Hasanuddin menyatukan kerajaan-kerajaan kecil di sekitar Gowa melawan kekuatan kolonial. Hal ini mengganggu rencana Belanda untuk memonopoli perdagangan di Indonesia Timur. Sultan Hasanuddin mengingat dan menjunjung tinggi prinsip-prinsip leluhurnya bahwa dia harus menggunakan sumber daya dan lautan untuk memastikan kemakmuran rakyat.

Selama pemerintahannya, Kesultanan Gowa memiliki peran penting dalam aktivitas perdagangan di seluruh Nusantara, khususnya Nusantara Timur. Ekonomi Gowa saat itu bergantung pada perdagangan laut. Kesultanan menjadi pusat perdagangan Nusantara dan masyarakat internasional seperti Portugis, Inggris, dan Denmark.

Melihat kemajuan tersebut, Belanda tertarik untuk menguasai Kesultanan. Hal ini akhirnya menyebabkan perselisihan antara Sultan Hasanuddin dan pasukan Belanda.

Perselisihan ini kemudian memunculkan perang di sekitar Sulawesi Selatan. Pada tahun 1667, perang berakhir dengan perjanjian Bongaya. Namun, kesepakatan ini mengakibatkan beberapa keputusan yang merugikan Sultan Hasanuddin dan rakyatnya.

Perjanjian tersebut memungkinkan VOC memaksa Gowa-Tallo untuk menerima hak monopoli dalam perdagangan di Nusantara Timur. Semua bangsa barat harus meninggalkan Gowa kecuali Belanda, dan Gowa diwajibkan membayar ganti rugi perang.

Sultan Hasanuddin melawan kembali dalam beberapa tahun berikutnya, namun tidak ada hasil yang memuaskan yang dicapai, dan VOC terus mendominasi Makassar. Diklaim bahwa alasan utama runtuhnya Gowa-Tallo adalah perjanjian tersebut, terutama setelah Sultan Hasanuddin meninggal pada tahun 1670.

Source link