LEADERSHIP QUALITIES OF MY SENIORS (PART I)

by -190 Views

Ada pepatah yang mengatakan seorang guru sejati seharusnya bangga melihat muridnya melebihi dirinya. Seorang guru sejati akan memastikan bahwa murid-muridnya dan anak buahnya lebih sukses daripada dirinya. Seorang guru sejati tidak akan ragu untuk membimbing murid-muridnya untuk mencapai potensi penuh dan mencapai pangkat tertinggi demi kepentingan negara dan bangsa.

Kolonel Jenderal TNI (Purn.) Kemal Idris

Saya berusia 17 tahun ketika saya kembali ke Indonesia dari Eropa. Saat itu, Pak Kemal Idris sudah menjadi figur TNI yang sangat terkenal. Pada saat itu, dia dikenal sebagai salah satu tokoh utama rezim Orde Baru di awal pemerintahan Presiden Suharto. Pak Kemal Idris juga merupakan teman dari pamanku, Subianto, yang meninggal dalam Pertempuran Lengkong. Ketika saya bertemu dengannya, Pak Kemal Idris memberitahu saya: ‘Saya merupakan sahabat terbaik dari pamanmu. Pamanmu adalah seorang pria yang sangat berani. Jika pamanmu masih hidup hari ini, saya yakin beliau akan menjadi Pangkostrad. Kau harus mengikuti jejak pamanmu, Subianto. Dia adalah seorang pahlawan’. Saya mengingat kata-katanya. Setelah saya belajar lebih banyak tentang sejarah hidup Pak Kemal Idris, saya mengerti bahwa dia adalah orang yang sangat patriotik, berani, lurus, dan terbuka.

Pak Kemal Idris adalah seorang kolonel pada saat itu, sangat terkenal. Pada saat itu, merupakan tradisi bagi batalyon TNI dinamai setelah komandan-komandan terkemuka. Jadi ada Batalyon Kemal Idris, Batalyon Ahmad Yani, Batalyon Poniman, dan lain-lain. Pada tanggal 17 Oktober 1952, Batalyon Kemal Idris terlibat dalam pengepungan Istana. Pak Kemal Idris adalah seorang pria yang berani, sangat pro-rakyat, dan patriotik. Dia sangat membenci korupsi hingga bahkan berani mengkritik atasannya, sehingga seringkali sesepuh dianggapnya sebagai seorang ‘nakal’. Saya bahkan pernah mendengar Pak Harto sekali menyebut nama Pak Kemal Idris sambil tersenyum sambil tertawa, ‘Ya, Kemal, ya… Kemal yang keras kepala’. Namun, para sesepuh selalu memaafkannya dan selalu melindunginya karena dia adalah seorang pria yang sangat berani dan mampu memimpin pasukannya melawan Belanda. Kemal Idris berperang melawan pemberontak selama tahun 1950an dan 1965. Setelah pemberontakan G30S/PKI pada tahun 1965, ia menjadi sahabat dekat Pak Harto di Kostrad sebagai Wakil Kepala Staf Kostrad. Setelah Pak Harto dipromosikan, Pak Kemal Idris menggantikan Pak Harto sebagai Pangkostrad. Sifat-sifat dari Pak Kemal Idris yang saya ingat dan kagumi adalah sikapnya yang terbuka, ramah, dan humoris. Dia selalu jujur dan selalu berpihak pada orang-orang yang kurang beruntung. Tapi Pak Kemal Idris juga memiliki kekurangan. Dia adalah seorang individu yang emosional dan sering membuat keputusan terburu-buru dan kesimpulan sebelum memiliki pemahaman yang kuat akan situasi. Terkadang, sifat ini membuatnya masuk dalam masalah nyata. Sepanjang hidupnya, dia sering memberikan saya nasihat. Setiap kali bertemu dengannya, dia selalu berbagi pengalaman dan kebijaksanaan. Saya memperoleh banyak wawasan kepemimpinan dari beliau. Beberapa jam sebelum ia meninggal, ADC-nya memberi tahu saya bahwa ia sangat sakit, dan saya mengunjunginya di Rumah Sakit Abdi Waluyo di Menteng, Jakarta. Di tempat tidurnya, dia berbisik kepada saya, ‘Prabowo, teruslah berjuang’. Kata-kata terakhirnya untuk saya, ‘Jaga Republik ini, terima kasih’. Saya memberi hormat kepadanya, dan dalam sekejap, air mata mulai mengalir di wajah saya. Itu adalah momen yang emosional. Pada saat itu, saya telah diberhentikan dari jabatan sebagai Pangkostrad. Saya bisa merasakan getaran jiwanya saat dia mengalami momen terakhir hidupnya.

Kolonel Jenderal TNI (Purn.) Hartono Rekso Dharsono

Saat Orde Baru, Pak Ton adalah salah satu sahabat terdekat Pak Harto. Dia berani membenahi Pak Harto, mengkritik, dan mendorongnya untuk mendemokratisasi Indonesia. Dia menentang rezim otoriter dan berani mengkritik senior-senior dan rekan-rekannya. Dia sangat populer di kalangan rakyat, mahasiswa, dan prajurit. Dia sering mengenakan topi Kujang. Dia muncul sebagai figur pahlawan idol. Dia diidolakan oleh pemuda-pemuda Jawa Barat dan gerakan pemuda di Jakarta.

Kolonel Jenderal TNI (Purn.) H. R. Dharsono yang akrab dipanggil Pak Ton adalah seorang tokoh yang sangat dekat dengan keluarga saya, terutama dengan orang tua saya. Pak Ton juga merupakan teman dari paman saya, Pak Subianto, dan ayah saya, Pak Soemitro. Dia pernah menjabat sebagai Atase Pertahanan di London. Dia juga memiliki karier yang gemilang di TNI. Dia merupakan tokoh terkemuka di Kodam Siliwangi, yang saat itu dikenal sebagai Divisi Siliwangi. Pada operasi untuk menekan pemberontakan PRRI/Permesta dan DI/TII, Hartono Dharsono menonjol sebagai komandan batalyon. Ketika pemberontakan G30S/PKI terjadi, dia menjabat sebagai Kepala Staf Kodam Siliwangi. Akhirnya, dia menggantikan Mayor Jenderal Ibrahim Adjie, lalu menjadi Komandan Kodam Siliwangi dari tahun 1966 hingga 1969. Pada saat itu, ia berhasil memperkuat persatuan antara TNI dan rakyat. Dia sangat populer di kalangan rakyat, mahasiswa, dan prajurit. Dia sering mengenakan topi Kujang. Dia diidolakan sebagai figur pahlawan, terutama oleh pemuda-pemuda Jawa Barat dan gerakan pemuda ibukota Jakarta.

Pada masa Orde Baru, dia merupakan salah satu pendukung terkuat Pak Harto. Dia berani membenahi Pak Harto, mengkritik Pak Harto, dan mendorong Pak Harto untuk mewujudkan Indonesia yang lebih demokratis. Dia menentang rezim otoriter dan berani mengkritik senior-senior dan teman sejawatnya. Akibatnya, ia dituduh mendukung tindakan teror dan sempat dipenjara sebentar. Pada saat itu, saya masih seorang perwira junior. Saya khawatir karena saya tahu dia difitnah dan dijadikan kambing hitam mungkin oleh kelompok dalam TNI yang tidak menyukainya. Ketika dia dipenjara, saya masih seorang Letnan Dua. Ketika saya mengikuti kursus dasar spesialisasi angkatan di Bandung, saya mengunjunginya dan bertemu dengan keluarganya. Lalu ketika saya menjadi Kapten, saya menjadi Wakil Komandan Detasemen 81. Pada saat itu, saya bertanggung jawab atas pembangunan markas Detasemen 81 di Jakarta dan memilih kontraktor dan subkontraktor. Saya mendengar bahwa beberapa individu muda dari Bandung mendirikan perusahaan furnitur dan mendaftar sebagai subkontraktor interior untuk markas tersebut. Saya tidak ragu untuk menunjuk perusahaan itu. Lalu saya ditegur oleh salah satu perwira atas saya, yang mengatakan, ‘Di antara mahasiswa ITB yang mendirikan perusahaan…’.

Source link