BRIGADIER GENERAL TNI POSTHUMOUS I GUSTI NGURAH RAI

by -91 Views

Oleh: Prabowo Subianto [diambil dari Buku: Catatan Kepemimpinan Militer dari Pengalaman Bab I: Pemimpin Teladan Angkatan Bersenjata Republik Indonesia]

Setelah proklamasi Kemerdekaan Indonesia pada 17 Agustus 1945, I Gusti Ngurah Rai datang ke Yogyakarta atas inisiatifnya untuk bertemu dengan Jenderal Sudirman. Dia meminta mandat kepada Jenderal Sudirman untuk membentuk Tentara Republik Indonesia (TRI) di Bali dan Nusa Tenggara, yang disebut Sunda Kecil.

Kemudian dia kembali dan merekrut pasukan serta mulai melakukan serangan terhadap pos-pos Belanda yang dipasang di akhir Perang Dunia II untuk merebut kembali Bali. Sejak pendudukan Jepang tahun 1942, I Gusti Ngurah Rai telah mengumpulkan pemuda-pemuda Bali yang bersatu dalam Gerakan Anti-Fasis (GAF).

Pada bulan September 1946, Belanda melancarkan serangan. Dan pada 19 November 1946, Belanda berhasil menyerang dan mengelilingi pasukan yang dipimpin oleh I Gusti Ngurah Rai di Desa Margarana dekat Ubud.

Belanda mengirim utusan untuk meminta I Gusti Ngurah Rai menyerah. Jika dia menyerah, dirinya dan pasukannya akan diampuni. Tawaran itu datang dari Kapten Infanteri Belanda JBT Konig, salah satu perwira Batalyon Infanteri KNIL Gajah Merah, pasukan Belanda yang diperintahkan untuk menduduki Bali.

JBT Konig pernah dekat dengan I Gusti Ngurah Rai. Konig adalah salah satu perwira KNIL yang mengawasi Pendidikan Perwira Prajoda di Gianyar, Bali sebelum kedatangan Jepang. I Gusti Ngurah Rai telah bergabung dengan Prajoda sebelum pecahnya Perang Pasifik.

Pada suatu waktu, I Gusti Ngurah Rai bahkan menyelamatkan Konig dan seorang perwira KNIL lainnya dengan membantu mereka melarikan diri ke Jawa ketika Jepang mulai menyerang. Namun demikian, I Gusti Ngurah Rai menolak tawaran untuk menyerah kepada Belanda, meskipun tawaran itu datang dari Konig, mantan atasan yang pernah ia miliki. Untuk menjaga moral pasukan Indonesia di bawah komandonya, I Gusti Ngurah Rai tidak menjawab surat dari Konig.

Jawaban I Gusti Ngurah Rai langsung ditujukan kepada atasan Konig, Letnan Kolonel Belanda Termeulen, pada 18 Mei 1946.

“Merdeka. Kami telah menerima tawaran Anda. Kami dengan ini memberikan jawaban berikut: Keamanan Bali merupakan tanggung jawab kami. Sejak pendaratan tentara Anda, pulau ini menjadi tidak aman. Keamanan telah terganggu karena Anda telah mengkhianati kehendak rakyat yang telah menyatakan kemerdekaannya. Adapun tawaran untuk bernegosiasi, kami serahkan kepada kebijaksanaan para pemimpin di Jawa. Bali bukan tempat untuk pembicaraan diplomatik. Dan saya tidak dalam posisi untuk berkompromi. Atas nama rakyat Bali, saya hanya menginginkan hilangnya Belanda dari pulau Bali atau saya dapat menjanjikan Anda bahwa kami akan terus berjuang tanpa henti sampai tujuan kami tercapai. Jika Anda memilih untuk tinggal di Bali, pulau Bali akan menjadi pertempuran sengit antara tentara Anda dan kami.”

Demikianlah jawaban dari I Gusti Ngurah Rai.

Inilah kesungguhan I Gusti Ngurah Rai dalam menghadapi penjajah Belanda. Suratnya mencerminkan jiwa patriotiknya dan ketidakmauannya untuk berkompromi dalam pengabdian untuk melawan penjajah.

Menjawab tawaran dari Belanda untuk menyerah dengan teriakan “Puputan, Puputan”, yang berarti bertempur sampai titik darah penghabisan. Oleh karena itu perang ini dikenal dengan Pertempuran Puputan di Margarana, atau “perang habis-habisan”.

Pada 19 November 1946, di Desa Margarana dekat Ubud, I Gusti Ngurah Rai memimpin pasukan TNI (saat itu dikenal sebagai TRI) dalam pertempuran sengit melawan pasukan Belanda. Selama beberapa hari, Belanda terus melakukan pengepungan terhadap desa tersebut.

Meskipun menghadapi pasukan Belanda yang personel dan persenjatannya jauh lebih canggih dan bahkan didukung oleh pesawat pembom taktis, I Gusti Ngurah Rai, Komandan Resimen TRI Sunda Kecil (setara dengan pangkat Pangdam saat ini), dan pasukannya terus bertempur tanpa kenal lelah.

Pertempuran sengit dimulai di pagi hari hingga akhirnya, tidak ada lagi tembakan yang keluar dari pihak Indonesia pada sore hari. Seluruh pasukan TRI dalam pertempuran telah tewas, termasuk Komandan Resimen TRI Sunda Kecil, I Gusti Ngurah Rai, dan Kepala Staf Resimen TRI Sunda Kecil, I Gusti Putu Wisnu.

Sikap dan tindakan I Gusti Ngurah Rai serta pasukannya telah memberikan tradisi kepemimpinan militer yang luar biasa dan memotivasi bagi generasi TNI berikutnya. I Gusti Ngurah Rai memimpin dengan contoh, memimpin dari garis depan, dan membuktikan patriotisme dengan pengorbanan tubuh dan jiwa.

Source link