Peneliti Mencatat Bahwa Masalah Pajak Hiburan Perlu Diatasi dengan Cermat

by -116 Views

MALANG – Pusat Penelitian Kebijakan Ekonomi (PPKE) Fakultas Ekonomi dan Bisnis (FEB) Universitas Brawijaya menyatakan bahwa masalah penerapan pajak hiburan mulai dari 40 hingga 75 persen harus dihadapi dengan bijak.

Peneliti senior PPKE FEB Universitas Brawijaya Joko Budi Santoso di Kota Malang, Jawa Timur, Rabu (17/1/2024), mengatakan, perlu adanya diskusi mendalam antara pemerintah dengan para pelaku usaha untuk menentukan tarif pajak yang tidak merusak iklim usaha. “Tentunya harus dihadapi dengan bijak. Berembug bareng antara pemerintah daerah dengan para pelaku usaha harus dilakukan untuk dapat menentukan tarif yang tidak merusak iklim usaha yang kondusif,” kata Joko Budi.

Joko Budi menjelaskan, penetapan pajak hiburan sebesar 40 hingga 75 persen yang tercantum dalam Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2022 Tentang Hubungan Keuangan antara Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah (HKDP) akan meningkatkan Pendapatan Asli Daerah (PAD).

Namun, lanjutnya, ada dampak lanjutan dari penerapan tarif pajak tersebut yang dapat mematikan usaha terkait. Pajak sebesar 40 hingga 75 persen itu, akan dikenakan pada sektor usaha hiburan spa, diskotek, klub malam, karaoke, dan bar.

Ia menambahkan, dalam menentukan tarif pajak hiburan tersebut, pemerintah daerah harus mempertimbangkan kondisi perekonomian seperti pertumbuhan ekonomi, inflasi, daya beli masyarakat, termasuk kemampuan pelaku usaha.

Kementerian Keuangan berencana untuk mengadakan pertemuan dengan pelaku usaha untuk mendiskusikan pajak barang jasa tertentu (PBJT) untuk kesenian dan hiburan atau pajak hiburan, bersama dengan Kementerian Pariwisata dan Ekonomi Kreatif.

Dalam Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2022 ditetapkan bahwa spa dan karaoke termasuk jenis pajak hiburan yang dikenakan tarif batas bawah 40 persen dan batas atas 75 persen, sama dengan jenis pajak diskotek, klub malam, dan bar.

Besaran tarif itu mempertimbangkan jenis hiburan tersebut hanya dinikmati oleh golongan masyarakat tertentu, sehingga pemerintah menetapkan batas bawah guna mencegah perlombaan penetapan tarif pajak rendah demi meningkatkan omzet usaha.

Penentuan tarif tersebut telah mempertimbangkan masukan dari berbagai pihak, termasuk pembahasan bersama Dewan Perwakilan Rakyat (DPR). Kementerian Keuangan terbuka bila ada ketentuan yang tidak disetujui atau butuh uji materi (judicial review).

sumber: ANTARA, Republika