JAKARTA — Guru Besar Ekonomi Politik Fakultas Ekonomi Manajemen IPB University Didin S Damanhuri mengatakan, Indonesia terancam terus terjebak dalam middle income trap atau jebakan pendapatan menengah. Hal ini jika Indonesia menerapkan paradigma pembangunan yang hanya mengejar pertumbuhan produk domestik bruto (PDB) tinggi (GDP Oriented).
“Dampak jika Indonesia menjadikan pertumbuhan ekonomi tinggi atau GDP Oriented tanpa memperhatikan faktor-faktor lain bisa berdampak, salah satunya Indonesia terancam Middle Income Trap,” ujar Didin dalam diskusi ‘Refleksi Dinamika Perjalanan Bangsa Tahun 2023 dan Proyeksi 2024’ yang digelar secara hybrid, Kamis (28/12/2023).
Didin memaparkan ada tiga model orientasi pembangunan ekonomi negara-negara berkembang. Pertama model PDB hanya sebagai faktor indikatif atau pertumbuhan Ekonomi tersebut dicapai melalui Pemerataan growth through Equity. Kedua, model Pertumbuhan Ekonomi Bersama Pemerataan (Growth with Equity) dimana Indonesia di era Orde Baru menerapkan model tersebut dengan rata-rata pertumbuhan 7,5 persen.
Sementara, Indonesia di era reformasi hingga saat ini mengejar pertumbuhan ekonomi tinggi dengan menerapkan model ketiga yakni Model Orientasi Pertumbuhan Ekonomi at all cost (GDP Oriented). Hal ini tercermin dlewat Privatisasi besar-besaran pada 2000 – 2014 dan melalui utang luar negeri dan pembangunan Infrastruktur fisik besar-besaran mulai tol, pelabuhan udara dan laut, LRT, MRT, IKN dan lain-lain pada 2014-2023).
Pembangunan yang hanya mengejar pertumbuhan ekonomi justru dinilai makin menyulitkan dalam menyejahterakan rakyat dan makin menajamkan ketimpangan. Hal ini karena penyusunan maupun RAPBN dan RAPBD akan tetap memilih alokasi Fiskal, moneter dan perbankan yang sensitif terhadap pertumbuhan PDB/PDRB. Karena makin padat modal dan teknologi dan makin rendah penyerapan tenaga kerja.
Selain itu, Model GDP Oriented juga berdampak pada ekosisten yang menyuburkan oligarki bisnis. Dengan sistem politik dan Pemilu yang “High Cost” menimbulkan ketidakadilan dan ketimpangan yang semakin tidak menyejahterakan rakyat. Tak hanya itu, GDP Oriented ini juga berdampak pada kebocoran dan korupsi.
Karena diperlukan langkah perubahan, salah satunya orientasi pembangunan harus lebih inklusif dan berkeadilan sosial dalam paradigma pembangunan.
“Menggeser orientasi pembangunan yang terlalu GDP Oriented ke arah sustainable growth (ekonomi, sosial, dan ekologi) with equity,” ujarnya.
Selain itu, Didin juga menilai perlunya memperbaiki kelembagaan institusi sosial-ekonomi seperti Bulog, KPPU dan KPK. Ditambah dengan tujuan mngurangi ketimpangan dalam rangka mencapai pemerataan serta menciptakan pasar yang lebih sehat.
Ia menilai GDP sebagai faktor indikatif yang harus diikuti oleh tujuan mencapai keberlanjutan secara ekonomi, sosial dan ekologi serta target pemerataan dengan indikator yang kongkrit dan terukur dari waktu ke waktu. Hal ini juga harus sejalan dengan kebijakan fiskal, moneter, perbankan dan tata ruang secara nasional dan daerah-daerah.
“Reforma pengelolaan fiskal dan moneter yang terlalu terkonsentrasi di kementrian keuangan perlu direform dengan dipisah dimana Bappenas sebagai perencana peereonomian nasional sekaligus sebagai pengelola otoritas fiskal bersama kemenkeu, Bank Indonesia sebagai pemegang otoritas moneter dan ada badan penerimaan pendapatan negara,” ujarnya.
Sumber: Republika