MENTERI Badan Usaha Milik Negara (BUMN) Erick Thohir mendukung sepenuhnya inisiatif Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) dalam merumuskan Rancangan Undang-Undang (RUU) BUMN. Erick menilai RUU BUMN dapat menjadi terobosan dalam menyelesaikan sejumlah persoalan yang telah lama terjadi di BUMN.
“Dari informasi yang kami terima, RUU ini sudah diparipurnakan pada 3 Oktober, dan saat ini masih berada di tahap pengajuan pimpinan. Kami masih menunggu proses berikutnya, apakah Surpres (Surat Presiden) akan dikeluarkan,” ungkap Erick dalam rapat kerja (raker) dengan Komisi VI DPR di Gedung DPR, Jakarta, pada Senin (4/12/2023).
Erick mengatakan bahwa RUU BUMN akan menjadi lompatan besar dalam menghadapi kompleksitas persoalan yang ada di BUMN. Salah satu poin penting dalam RUU ini adalah pengaturan penugasan pemerintah kepada BUMN.
“Dengan disetujuinya RUU ini, akan banyak persoalan yang dapat diselesaikan,” ungkapnya.
Sambil menunggu RUU BUMN selesai, Erick juga bekerja sama dengan Badan Pengawasan Keuangan dan Pembangunan (BPKP) untuk mengatur penyelesaian perselisihan antarBUMN.
Erick menyatakan bahwa Kepala BPKP Muhammad Yusuf Ateh akan menyiapkan sejumlah aturan dasar yang mengatur penyelesaian perselisihan antarBUMN.
“Bersama Pak Ateh, kita akan membuat aturan-aturan dasar mengenai penyelesaian perselisihan antarBUMN, yang sebenarnya sudah ada di RUU BUMN. BPKP juga sudah menyetujui mengenai penugasan tersebut, yang mana kami telah bekerja sama dengan Kementerian Keuangan, PUPR, dan ESDM,” kata Erick.
Sebelumnya, Erick mengatakan bahwa RUU BUMN akan mensinkronisasi penugasan pemerintah terhadap BUMN. Dengan demikian, penugasan kepada BUMN akan menjadi lebih jelas dan terkoordinasi dengan baik.
Dalam RUU tersebut, Erick juga menjelaskan aturan tentang penyertaan modal negara (PMN), yang sering menjadi polemik. Padahal kenyataannya, BUMN memberikan dividen atau setoran kepada negara yang jumlahnya jauh lebih besar.
Erick mengatakan bahwa jumlah utang BUMN sebesar Rp 1.600 triliun masih lebih rendah daripada modalnya yang mencapai Rp 3.100 triliun.
“Situasi ini seakan-akan hanya menunjukkan bahwa BUMN terus menerima suntikan modal tanpa memberikan dividen yang cukup, padahal dalam dunia usaha, biasanya rasio tersebut adalah utang sebesar 70% dan modal sebesar 30%. Namun, dalam kasus BUMN, modalnya lebih besar yaitu 65% dibandingkan utangnya yang hanya 35%,” lanjut Erick.
[Referensi: Republika]