Ketua Gabungan Pengusaha Kelapa Sawit Indonesia (Gapki) Eddy Martono mengatakan bahwa kinerja industri kelapa sawit tahun 2023 tidak lebih baik daripada tahun sebelumnya. Dari segi harga, tahun ini juga tidak sebaik pada tahun 2022.
Meski demikian, Gapki memperkirakan harga akan meningkat atau bullish pada tahun 2024. Salah satu faktor yang memengaruhi harga kelapa sawit adalah El Nino yang dialami tahun ini dan akan memengaruhi produksi tahun depan.
Eddy mengungkapkan bahwa Indonesia, sebagai produsen minyak sawit terbesar, mengalami stagnasi produksi dalam beberapa tahun terakhir. Hal ini disebabkan oleh lambatnya kemajuan dalam penanaman kembali oleh petani kecil.
Meskipun pemerintah akan terus menerapkan B35 dan peningkatan konsumsi pangan dan industri dalam negeri, stok minyak sawit Indonesia tetap akan rendah. Gapki juga melihat penurunan harga minyak sawit global dalam beberapa bulan terakhir akibat melemahnya daya beli dan melimpahnya stok di berbagai negara produsen.
Ancaman krisis pangan dan energi serta hambatan perdagangan dari negara importir, termasuk EUDR, membuat ketidakpastian semakin melebar.
Gapki berharap pemerintah Indonesia dapat mengambil langkah-langkah yang bijaksana untuk menjaga daya saing industri kelapa sawit Indonesia, seperti memperkuat produksi minyak sawit berkelanjutan dan tidak mengeluarkan peraturan yang kontraproduktif, serta memperjuangkan perdagangan bebas dan adil.
Pada tahun 2023, produksi kelapa sawit Indonesia mencapai 36,3 juta ton dengan ekspor termasuk biodiesel dan oleokimia lebih dari 23,4 juta ton. Ini memberikan kontribusi sekitar 20,6 miliar dolar AS terhadap devisa Indonesia. Adapun pada tahun 2022, produksi Crude Palm Oil (CPO) mencapai 46,729 juta ton, lebih rendah daripada produksi tahun 2021 yang sebesar 46,888 juta ton.
Sumber: Republika