Satu Juta Hektare Lahan Pertanian Terkena Dampak Salinitas Menurut BRIN

by -136 Views

Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN) mengungkapkan bahwa sekitar satu juta hektare lahan pertanian di Indonesia terdampak oleh salinitas, yang dapat menurunkan hasil dan produktivitas tanaman pertanian secara nasional.

Padi, sebagai salah satu tanaman utama, banyak diproduksi di dataran rendah. Namun, beberapa daerah mungkin terkena dampak salinitas, dengan luasnya laporan mencapai lebih dari satu juta hektare lahan yang terdampak. Hal ini diungkapkan oleh Kepala Pusat Riset Tanaman Pangan BRIN, Yudhistira Nugraha, dalam sebuah dialog virtual yang dipantau di Jakarta.

Tanah salin adalah tanah yang memiliki kadar natrium di atas ambang batas kritis atau ambang batas toleransi tanaman. Salah satu daerah yang paling terdampak oleh intrusi air laut adalah wilayah pantai utara di Jawa Tengah, yaitu Kabupaten Kendal dan Kabupaten Pemalang.

Yudhistira menjelaskan bahwa perubahan iklim telah menyebabkan peningkatan luas daerah yang terkena salinitas akibat kenaikan muka air laut sebagai dampak dari pemanasan global. Indonesia sebagai negara kepulauan dengan garis pantai yang panjang, sebagian besar lahan pantai digunakan untuk produksi padi. Oleh karena itu, penelitian tentang lahan sawah yang terdampak salinitas sangat penting untuk memetakan penyusutan maupun peningkatan produksi pangan secara nasional.

Renie Oelviani, peneliti Agrikultur BRIN, mengatakan bahwa lahan sawah yang terkena salinitas tidak dapat ditanami antara 10-60 persen di Kecamatan Brangsong, Kendal, Patebon, dan Cepiring di Kabupaten Kendal. Di Kecamatan Ulujami, Kabupaten Pemalang, sekitar 80 hingga 90 persen luas lahan tidak dapat ditanami karena terpapar salinitas tinggi. Selain itu, komoditas potensial terbesar di kabupaten tersebut, yaitu perkebunan melati, mati 100 persen, sehingga tidak ada lagi perkebunan melati dan tambak hanya tersisa 25 persen.

Lebih lanjut, kerentanan juga terlihat dari kondisi lingkungan di mana air masuk ke pemukiman penduduk sebanyak 10-30 persen, kualitas air yang buruk, dan tidak bisa digunakan untuk kebutuhan keluarga karena terasa asin jika diminum.

Petani bereaksi terhadap perubahan iklim dengan melakukan adaptasi baik secara on-farm maupun off-farm. Petani dengan kemampuan yang tinggi dapat melakukan irigasi sepanjang musim, tetapi petani dengan kemampuan yang rendah hanya berharap bisa mendapatkan panen walaupun seringkali gagal. Mereka yang tidak memiliki lahan sawah menjadi buruh serabutan, buruh tani, buruh nelayan, dan mencari ikan untuk kelangsungan hidup.

Sumber: ANTARA (Sumber: Republika)