61st Annual Session of AALCO Mendorong Pertumbuhan Perdagangan di Negara-Negara Berkembang

by -166 Views

BALI – Salah satu agenda penting yang dibahas dalam kegiatan 61st Annual Session of AALCO di Bali adalah terkait Hukum Perdagangan dan Investasi Internasional. Beberapa isu yang dibahas dalam agenda ini, antara lain isu-isu perdagangan internasional yang akan menjadi topik diskusi pada Konferensi Tingkat Menteri (KTM) WTO ke-13 seperti reformasi WTO dan subsidi perikanan.

Terkait isu reformasi WTO, Indonesia selama ini berpartisipasi aktif dalam negosiasi mengenai sistem penyelesaian sengketa WTO, khususnya untuk mempertahankan sistem penyelesaian sengketa dua tingkat, termasuk mempertahankan standing body yang mengkaji upaya banding. Indonesia berpandangan bahwa sistem penyelesaian sengketa dua tahap pada WTO berperan penting untuk stabilitas dan prediktabilitas perdagangan multilateral, serta memenuhi kebutuhan untuk mencegah kebuntuan penyelesaian sengketa. Indonesia mendukung upaya-upaya reformasi WTO dan menekankan pentingnya agar proses dan pelaksanaan diskusi reformasi WTO dilakukan secara inklusif, transparan dan terbuka untuk semua anggota.

“Mengenai WTO Agreement on Fisheries Subsidies sebagai hasil KTM WTO ke-12, Indonesia menekankan pentingnya perjanjian yang komprehensif yang mencakup Special and Differential Treatment yang tepat dan efektif bagi negara-negara berkembang, sesuai mandat Sustainable Development Goals,” kata perwakilan Delegasi Indonesia dari Kementerian Kelautan dan Perikanan, Sabtu (21/10/2023).

Delegasi Indonesia juga menyatakan dukungan penuh melalui partisipasi Indonesia selama ini dalam Working Group III of the United Nations Commission on International Trade Law mengenai reformasi penyelesaian sengketa antara investor dan negara atau Investor-State Dispute Settlement Reform (ISDS Reform). Salah satu hal yang dibahas dalam Working Group III adalah terkait pembentukan pusat penasehat hukum internasional investasi.

Pusat penasehat ini nantinya akan memberikan bantuan teknis dan peningkatan kapasitas mengenai hukum investasi internasional dan penyelesaian sengketa antara investor dan negara (ISDS). Selain itu, pusat penasehat ini diharapkan juga dapat memberikan dukungan dan nasihat hukum sehubungan dengan proses ISDS, termasuk layanan pendampingan hukum.

“Indonesia mendorong negara-negara Asia-Afrika untuk mendukung pembentukan pusat penasehat ini karena dapat membantu negara-negara berkembang untuk meningkatkan kapasitas dalam menghadapi ISDS. Indonesia percaya bahwa hal ini dapat menjadi langkah penting menuju pencapaian hasil yang adil dalam sengketa investasi internasional,” ujar perwakilan delegasi Indonesia.

Delegasi Indonesia juga menekankan pentingnya negara-negara berkembang untuk mempertimbangkan lebih lanjut pembentukan badan permanen atau sistem pengadilan investasi multilateral, terutama dalam hal insentif kemudahan gugatan oleh investor dan dampaknya terhadap negara. “Indonesia akan terus mendorong solusi yang dapat mencapai keseimbangan antara hak dan kewajiban negara dan investor dalam upaya reformasi ISDS,” ujarnya.

Pada sesi 5th General Meeting hari ini, delegasi Indonesia yang diwakili oleh Direktur Jenderal Administrasi Hukum Umum, Cahyo R. Muzhar, kembali menekankan pentingnya menghadapi isu illegal fishing secara komprehensif. Illegal fishing adalah masalah yang menjadi perhatian dunia karena memiliki dampak ekonomi dan lingkungan yang signifikan. Perdagangan hasil tangkapan ikan dari kegiatan illegal fishing diperkirakan mencapai US$23,5 miliar per tahun.

Bahkan, kerugian ekonomi secara keseluruhan akibat penangkapan ikan ilegal diperkirakan mencapai US$50 miliar. Aktivitas illegal fishing juga menyebabkan jumlah stok ikan di dunia turun secara signifikan dari 90% pada 1974 menjadi 64,6% pada 2019. Ini merupakan ancaman serius bagi ketahanan pangan global di masa depan.

Penangkapan ikan secara ilegal juga menimbulkan masalah serius lainnya seperti perdagangan manusia, perbudakan modern, dan pencucian uang. Pada tahun 2020, diperkirakan 39% korban perdagangan manusia, setiap 100 ribu penduduk, menjadi korban kerja paksa, dan 28% di antaranya dipaksa bekerja di industri perikanan. Uang yang diperoleh dari illegal fishing biasanya disembunyikan melalui jaringan pencucian uang yang rumit. Hal ini menambah kompleksitas dalam upaya memerangi kejahatan keuangan internasional.

“Semua hal di atas menekankan pentingnya strategi penanganan yang komprehensif yang tidak hanya melindungi ekosistem laut tetapi juga menghormati hak asasi manusia, keamanan internasional, dan integritas keuangan, sehingga membutuhkan komitmen dan upaya bersama dari negara-negara Asia dan Afrika. Oleh karena itu, dalam pertemuan ini, Indonesia mengajak negara-negara Asia dan Afrika untuk menyatukan pandangan dan menyatakan komitmen bersama untuk memerangi illegal fishing sebagai bagian dari kejahatan transnasional yang terorganisir,” kata Cahyo.

sumber: Antara